sumber foto: jailolofest.com |
Di Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, masih didiami oleh berbagai macam suku dan budaya. Suku Sahu merupakan salah satu suku yang dimana masyarakatnya masih sangat aktif melakukan ritual adatnya. Suku ini mendiami dua wilayah administrasi di kabupaten ini, yaitu kecamatan suku Sahu Barat dan Sahu Timur. Walaupun mendiami dua wilayah yang berbeda tetapi mereka selalu menjunjung satu kesatuan adat yang sama. Hal itu dapat dilihat dengan adanya Sasadu (rumah adat suku Sahu), yang berada disetiap desa-desa, di kedua kecamatan tersebut. Ke dua suku ini juga selalu melaksanakan pesta makan adat yang disebut Orum Sasadu.
Peneliti suku Sahu, yaitu Corolus Jawa menyebutkan bahwa dulu masyarakat suku ini bernama Jio Jepung Malamo. Nama Sahu diberikan oleh Sultan Ternate, dimana pergantian nama ini bermula ketika Sangaji (utusan suku sahu) dipanggil menghadap Sultan Ternate. Sangaji datang menemui sultan bertepatan dengan waktu sahur. Sultan pun berkata dalam bahasa Ternate "Hara kane si jou sahur, jadi kane suku ngana si golo ngana jiko Sahu" yang artinya "Karena kau Sangaji datang pada saat sultan sedang makan sahur, maka dikemudian hari kau akan mendirikan daerahmu, dan namailah Sahu".
Pada zaman kesultanan Ternate, sesudah Baab Mansyur Malamo, suku Sahu dipimpin oleh seorang yang disebut Walasae. Di bawahnya Walasae ada seorang panglima yang disebut Kapita/Momole, dan disusul oleh Walangotom (prajurit yang selalu mendengar komando dalam kapita dalam hal pertahanan). Setelah itu ada Jou Ma Bela (kaum masyarakat yang ditugaskan uttuk membawa upeti kepada sultan Ternate). Setelah jou ma bela ada Guru yang ditugaskan dalam hal keagamaan dan didampingi oleh khalifa. Dan yang terakhir adalah Ngofa Repe, sebutan untuk masyarakat kampung.
Sedangkan diatas struktur itu ada terdapat lembaga kesultanan yang disebut babato madopolo, dan kedudukan sultan sebagai kepala negara atau kepala pemerintahan yang disebut Maluku Kie Raha sampai sekarang. Seiring dengan perkembangan zaman, struktur masyarakat Sahu pun ikut berubah. Sekarang Pemimpin Desa (fomanyira) yang memiliki kedudukan tertinggi yang bertugas mengatur kehidupan dan kesejahteraan raykat. Di bawahnya fomanyira terdapat sebuah institusi masyarakat yang disebut gam ma kele yang terdiri dari wala sae dan wala ngotom yang bertugas mengatur dan menegakan hukum adat serta syukuran atas hasil panen pertanian mereka. Setelah gam ma kele ada baba masohi, sebutan untuk tetua kampung yang mendampingi gam ma kele dalam menegakan hukum adat. Dan yang paling terakhir adalah ngoa repe atau masyarakat kampung.
Dalam kehidupan sehari hari masyarakat suku Sahu memahami bahwa manusia saling membutuhkan satu sama lain. Hal inilah yang mendorong masyarak untuk membentuk kelompok-kelompok kerja yang disebut rion-rion. Setiap anggota kelompok ini mempunyai tujuan yang sama, seperti berkebun hingga mengolah hasil pertanian, dan membangun rumah para anggota kelompok tersebut.
Kegiatan gotong royong yang diciptakan oleh nenek moyang itu terwarisi sampai sekarang. Di lingkungan keluarga biasaya ada hubungan kerja sama sebagai tanggung jawab. Hal ini dapat dilihat dari kerjasama dalam menyiapkan upacara pernikahan anggota keluarga, upacara pamakaman, adat istiadat dalam pembagian harta, serta budaya sasadu. #AyoKeMaluku #jelajahijailolo (sumber :http://t-baronda.blogspot.com/)
0 komentar:
Post a Comment